Yayasan Waqaf Al-Muhajirien Jakapermai

Aplikasi yang bisa diakses online 24 jam full oleh orang tua, siswa, guru & tata usaha.

Menjaga Keutuhan Pendidikan Nasional Kita

02 May 2018, 10:00

Oleh. Dr. M. Eko Purwanto, SE, MM., MH

(KABAG DIKDASMENTI YW-AMJP)

 

 

Hari ini adalah Hari Pendidikan Nasional, dimana pada tanggal 2 Mei ini merupakan tanggal kelahiran seorang tokoh dan pahlawan pendidikan nasional yaitu Ki Hadjar Dewantara, yang lahir pada tanggal 2 Mei 1889 di Yogyakarta. Sehingga pada tanggal 2 Mei sebagai Hari Pendidikan Nasional ditetapkan oleh pemerintah RI, melalui Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 305 Tahun 1959 tanggal 28 November 1959. 

Konsep pendidikan Ki Hadjar Dewantara yang diterapkan sampai hari ini adalah suatu proses memanusiakan manusia yang bertujuan untuk mengangkat manusia ke taraf insani (manusiawi), sehingga setiap manusia dapat memperoleh tingkat kehidupan lahiriah (jasmani) dan batiniah (rohani), serta tingkat penghidupan yang layak sebagai manusia sejati. Oleh karena itu, ada dua hal yang diterapkan Ki Hadjar Dewantara, yaitu pengajaran dan pendidikan.

Konsep pengajaran bertujuan untuk memerdekakan manusia pada aspek penghidupan lahiriah, misalnya terhindar dari kebodohan dan kemiskinan. Konsep pengajaran pada dasarnya dilakukan dengan berbagai metode untuk mentransfer ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni (IPTEKS) agar peserta didik (murid) memiliki kompetensi sesuai ranah (satuan perilaku manusia) yang ditentukan oleh para pendidiknya meliputi perilaku kognitif, afektif, dan psikomotor. Kompetensi yang dimiliki peserta didik tersebut diharapkan dapat menyeimbangkan perwujudan (ekspresi) potensi manusia yang meliputi daya cipta, karsa, dan karya yang bermanfaat untuk memenuhi penghidupan lahiriah, khususnya bagi dirinya, keluarganya, bangsanya, dan umumnya bagi seluruh umat manusia.

Sedangkan konsep pendidikan bertujuan untuk memerdekakan manusia pada aspek penghidupan batiniah, misalnya kemandirian untuk berpikir, berdemokrasi, berkreasi, tetapi bertanggungjawab dan dilandasi dengan akhlak yang mulia. Pendidikan dilakukan untuk membentuk watak dan peradaban manusia yang bermartabat, sehingga pada umumnya dinamakan sebagai pendidikan karakter karena proses pendidikan ini harus menghasilkan karakter tertentu pada manusia.

Namun, apa yang terjadi saat ini dalam pendidikan kita?! Dunia pendidikan kita masih terus berproses. Idealisme pendidikan untuk mengembangkan keseluruhan diri manusia masih dalam ancaman. Sementara itu, untuk memperoleh pendidikan yang bermakna, kita mau-tidak-mau, harus keluar banyak uang. Padahal, tidak semua orang mampu memenuhi kebutuhan itu. 

Sekolah sebagai institusi pendidikan pun masih harus terus dimurnikan, sekarang ini sekolah-sekolah kita masih dilumuri kepentingan untuk mendapatkan material semata, apalagi sekolah-sekolah yang dipayungi oleh yayasan-yayasan keluarga. Selain guru-gurunya dibayar seenaknya sendiri, juga sekolah-sekolah yang berada di bawah yayasan keluarga ini, didirikan hanya untuk mendapatkan dana-dana operasional dari pemerintah. Dana-dana pemerintah tersebut, biasanya tidak untuk mengembangkan proses pembelajaran dan pendidikan, tapi justru untuk menambah asset yayasan, yang notabene milik perseorangan. 

Dalam hal pendirian sekolah, apalagi sekolah tersebut dikatakan unggul atawa sekolah mahal, proses pendiriannya dijadikan sebagai ATM bagi pejabat Pemda, bahkan mereka bisa survive dengan membayar upeti pada oknum pejabat pemerintah. Sehingga, jika ingin bertahan sebagai sekolah yang unggul, maka sekolah haruslah menyisihkan sebagian pendapatan mereka, untuk pelicin ke pemerintah. Inilah praktek kotor yang terus berlangsung, namun tampak tidak lagi menjadi persoalan, karena sudah dianggap biasa. Kejahatannya sudah dianggap banal. 

Pertanyaannya, mengapa hal ini bisa terjadi? Mengapa pengetahuan yang luas tidak menjamin orang bebas dari korupsi? Mengapa pengetahuan agama yang mendalam tidak mendorong orang menjadi lebih baik, melainkan justru menjadi lebih bejat dengan menggunakan pembenaran-pembenaran palsu dari pengetahuan agama yang dimilikinya? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang mesti kita jawab bersama sejak Bapak Pendidikan Nasional kita menyerukan gerakan pendidikan. 

Menurut saya, kondisi ini merupakan akibat dari kemiskinan paradigma pendidikan kita di Indonesia. Pendidikan kita tak lagi memiliki sayap. Karena dalam tradisi Filsafat Timur, pendidikan selalu dilihat sebagai kerja sama dari dua aspek yang tak terpisahkan, yakni pengetahuan dan pengalaman. Ketika dua sayap ini ada, barulah pendidikan bisa mendorong orang tidak hanya untuk cerdas, tetapi juga terbang menuju kebijaksanaan. 

Pengetahuan bisa diperoleh, pada saat kita mendengar dan memahami ajaran dari orang lain. Kita juga bisa mendapatkan ilmu pengetahuan dari kebiasaan kita membaca buku. Dengan pengetahuan yang kita miliki, kita bisa meningkatkan mutu hidup kita, sekaligus membantu orang lain. Namun demikian, pengetahuan semata tidaklah cukup, karena kita masih harus menciptakan jarak antara diri kita dengan kenyataan, melalui konsep-konsep yang kita rumuskan. 

Selanjutnya, pengalaman adalah persentuhan langsung dengan kenyataan yang ada, tanpa terlebih dahulu dihalangi oleh konsep. Pola semacam ini dapat kita peroleh, apabila kita mampu melakukan refleksi, yakni melihat jauh ke dalam dirinya sendiri, guna memahami jati diri sejati kita sebagai manusia. Pemahaman akan jati diri sejati, ditambah dengan pengetahuan yang luas, akan mendorong orang masuk ke dalam kebijaksanaan. 

Ketika pendidikan kita tidak memiliki sayap, maka pendidikan itu justru akan menghasilkan manusia-manusia bodoh. Ketika pendidikan hanya memiliki satu sayap, ia akan rapuh dan akan menghasilkan manusia-manusia yang cacat. Ketika pendidikan hanya berfokus pada pengetahuan, maka pendidikan akan menghasilkan manusia-manusia cerdas yang siap menipu dan korupsi, ketika ada kesempatan. Ketika pendidikan hanya berfokus pada pengalaman, maka pendidikan akan menghasilkan manusia-manusia yang tidak terampil, dan tidak memiliki arah. 

Pada akhirnya, kita menyadari bahwa sudah begitu banyak orang pintar di Indonesia ini, namun korupsi terus merajalela, penyalahgunaan wewenang menjadi biasa, penyimpangan sikap dan perilaku ada dimana-mana. Sekarang, yang kita butuhkan adalah orang yang hidup dalam dua sayap pendidikan, yakni pengetahuan dan pengalaman. Kita tidak membutuhkan orang-orang yang hatinya kosong dan menderita, yang akan menciptakan penderitaan, tidak hanya untuk dirinya sendiri, tetapi untuk orang lain ?! Wallahu A’lamu Bishshawwab.

 

Bekasi, 2 Mei 2018.