Merapatkan shaf, meneguhkan persatuan ummat
13 February 2013, 11:25
Bila muadzin selesai mengumandankan iqamat tanda shalat siap ditegakkan. Imam menghadap kepada makmum seraya mengatakan "Rapatkan shaf, sesungguhnya rapatnya shaf merupakan bagian dari kesempurnaan shalat". Umum sudah mengetahui bahwa shaf merupakan bagian esensial dalam pelaksanaan shalat. Meskipun shaf bukan termasuk 13 rukun shalat yang mengindikasikan sah atau tidak sahnya shalat. Namun coba kita perhatikan bagaimana Rasulullah saw memberikan warning dalam masalah ini :
لَتَسُوُّنَّ صُفُوْفَكُمْ أَوْ لَيُخَالِفَنَّ اللهُ بَيْنَ قُلُوْبِكُمْ
“Kalian akan benar-benar meluruskan shaf, atau Allah benar-benar akan membuat hati-hati kalian berselisih”. (1)
Ada hal besar dibalik perintah meluruskan dan merapatkan shaf. Kata "latasuwwunna" dalam hadits diatas diapit dua penguat yaitu lam ta'kid didepan dan nun ta'kid di akhir. Dalam bahasa arab ta'kidberfungsi sebagi penekanan dalam menyampaikan sesuatu. Jika demikian, artinya ada double quotation mark dalam hal meluruskan shaf ini. Menegaskan bahwa hal tersebut tidak dapat ditawar-tawar lagi. Lantas apa implikasinya jika warning tersebut diabaikan ? Perpecahan ummat yang terjadi. Persis seperti yang kita saksikan hari ini.
Runtuhnya persatuan ummat seiring dengan melemahnya perhatian umamat islam itu sendiri terahadap masalah shaf dalam shalat. Jauh-jauh hari Anas bin Malik pernah mengatakan :
لَقَدْ رَأَيْتُ أَحَدَنَا يَلْزِقُ مَنْكَبَهُ بِمَنْكَبِ صَاحِبِهِ وَقَدَمَهُ بَقَدَمِهِ .وَلَوْ ذَهَبْتَ تَفْعَلُ ذَلِكَ الْيَوْمَ لَتَرَى أَحَدَهُمْ كَأَنَّهُ بِغَلِ شُمُوْسٍ
“Dulu, salah seorang di antara kami menempelkan bahunya dengan bahu teman di sampingnya serta kakinya dengan kaki temannya. Andaikan engkau lakukan hal itu pada hari ini, niscaya engkau akan melihat mereka seperti baghal (hewan hasil perkawinan antara kuda dan keledai) yang liar”. (2)
Anas bin Malik seolah-olah ingin mengatakan bahwa saat itu orang sudah mulai mengabaikan masalah shaf. Bahkan jika ada orang yang ingin merapatkan shaf dengan teman sebelahnya. Maka akan dianggap hal yang aneh, risih, jijik, ditempel makin menjauh. Dan perilaku tersebut beliau nisbatkan seperti baghal yang liar.
Lantas seperti apakah persisnya penerapan meluruskan dan merapatkan shaf tersebut ? seorang sahabat yang mulia yang bernama Nu’man bin Basyir -radhiallahu Ta’ala ‘anhu-, beliau menuturkan realita yang terjadi di zaman Nabi :
“Aku melihat seorang laki-laki menempelkan bahunya dengan bahu temannya, lututnya dengan lutut temannya, dan mata kakinya dengan mata kaki temannya”.(3)
Betapa rapatnya. Realita yang menggambarkan dekatnya persaudaraan sesama muslim pada saat itu. Rapatnya shaf bukanlah semata realita fisik yang saling bersentuhan, bergandengan. Namun menunjukkan kerendahan hati untuk menerima siapapun didekat kita. Maka dengan mudahnya kita simpulkan. Jika dalam shalat saja kita masih enggan untuk merapatkan shaf, apakah kita dapat memimpikan umat Islam dapat bersatu merapatkan barisan di luar shalat? Wallahu a'lam bisshawab
Marja'/Sumber :
1. HR. Al-Imam Al-Bukhory dalam Shohih-nya (717), dan Muslim dalam Shohih-nya(436)
2. HR.Al-Bukhory (725)
3. HR.Abu Dawud (662), Ibnu Hibban, Ahmad (4/276), dan Ad-Daulaby dalam Al-Kuna (2/86). Dishohihkan oleh Syaikh Al-Albany dalam Ash-Shohihah (32)
![]() |
![]() |
Kaki rapat, shaf sempurna | Merapatkan kaki, menyatukan hati |
![]() |
![]() |
Bahu rapat tapi melunak | Kaki menjauh, hatipun ikut menjauh |